Kamis, 28 Mei 2015

INDONESIA 1808-1830

Nama : MARSINTA ULI
Npm : 13020017   A/13
Indonesia 1808-1830
politik dan ekonomi indonesia:
A.    1808-1811
Sebagai Gubernur Jenderal di Batavia Daendels (1808-1811) kedatangannya membawa tugas khusus. Dia harus memperkuat jawa sebagai daerah basis untuk menghadapi inggris di lautan hindia.[1] Daendels seorang pemuja prinsip revolusioner sehingga dia membuat jawa menjadi  suatu perpaduan antara semangat pembaharuan dengan metode kediktatoran, namun hanya menuai hasil yang sedikit. Daendels kurang suka terhadap penguasa di jawa (bupati) yang memerintah secara feodal sehingga muncul antifeodalisme, padahal mereka merupakan sebagian kecil pegawai administrasi eropa, sehingga daendels mengurangi pendapatan mereka.
Daendels membuat peraturan baru di jawa yaitu peraturan mengenai penerimaan residen di istana pada tatanan pemerintahan surakarta dan yogyakarta. Menurut peraturan baru ini residen di kerajaan-kerajaan itu diberi penghormatan sebagai wakil dari suatu kekuasaan tertinggi ditempatkan sejajar dengan raja. Di surakarta peraturan ini di tertima  tetapi tidak di yogyakarta. Sultan hameng kubuwono II menentang peraturan ini, pada tahun 1810  ia di paksa turun dari tahtanya dengan ekspedidi militer yang di pimpin oleh daendels sendiri. Sebagai penggantinya diangkat putra mahkotanya menjadi raja dengan gelar Hamengku Buwono III / Sultan rojo. Inilah raja yang bekerja sama dengan daendels. Daendels menambahkan beban kepada rakyat yaitu penanaman wajib kopi, yang belum lama siap di jawa tengah dan jawa timur, diperluas oleh daendels. Untuk membuat jaringan-jariang yang lebih luas lagi dan dituntut untuk rodi yang berat. Jalan dibuat untuk kepentingan militer tetapi akhirnya menjadi penting untuk perekonomian.[2]
Jawa dan madura merupakan satu kesatuan administratif yang di buat oleh belanda. Madura mempunyai nilai ekonomi  yang besar sebagai pemasok utama garam untuk daerah-daerah yang di kuasai belanda di seluruh nusantara dimana garam sangat menguntungkan bagi belanda.
Di banten, peraturan daendels sangat keras dibandingkan di jawa, dengan tujuan menuntut kerja rodi untuk pekerjaan-pekerjaan militer hal ini juga yang menyebabkan peperangan antara daendels dengan kesultanan banten tak lama setelah itu daendels meninggalkan indonesia.
Dengan jatuhnya pangkalan utama prancis di mauritius, pada bulan mei 1811, napeleon menyuruh daendels meninggalkan indonesia dan digantikan oleh willem janssens ( yang telah menyerahkan tanjung harapan kepada pihak inggris tahun 1806) sedangkan pada akhir 1810 inggris sudah siap merebut jantung jajahan belanda di pulau jawa. Pada tanggal 4 agustus 1811 inggris melakukan serangan kepada belanda. Dan pada 28 agustus berhasil mengalahkan belanda. sehingga  janssens mundur kearah semarang. Pada 18 september janssens menyerah di salatiga dan menyepakati suatu kesepakatan “kapitulasi Tuntang” . kapitulasi tuntang adalah surat penyerahan kekuasaan Belanda kepada inggris atas seluruh pulau jawa beserta pangkalan-pangkalannya.
B.    1811-1816
1.     Kedatangan Thomas stamford Raffles
Setelah napoleon menguasai belanda dan daendels pemperkuat pertahanan  di jawa, inggris memutuskan untuk menyerang daerah kekuasaan belanda di seberang laut. Pada tanggal 31 agustus 1810, inggris menerima berita dari direktur EIC untuk mengusir prancis dan belanda dari jawa dan tempat-tempat lain di timur.
Raffles pada mulanya seorang pegawai EIC di london dan kemudian diangkat sebagai agen di pulau penang ,  disinilah ia mulai mempelajari bahasa melayu, sejarah dan adat istiadat melayu. Ketika penyerangan semakin dekat, raffles ditugaskan oleh Lord minto untuk mengadakan persiapan-persiapan diplomatik sesuai dengan instruksi london, upaya persahabatan dengan penduduk agar serangan berlangsung dengan mudah, sedangkan ia sendiri menyiapkan segala  sesuatunya yang berhubungan dengan kepentingan militer.[3]
2.     Perjanjian dan pembagian wilayah
Pada tanggal 18 september 1811 belanda menyerah di Tuntang (salatiga ) dan menandatangani perjanjian di tuntang yang isinya antara lain:
·       Seluruh jawa dan daerah taklukanya di serahkan kepada inggris,
·       Semua serdadu belanda jadi tawanan dan pegawai-pegawai yang mau bekerja pada pemerintahan inggris dapat menjabat jabatan lama,
·       Hutang selama masa belanda-prancis tidak menjadi tanggungan inggris,
·       Tentara raja-raja boleh pulang ke wilayah asalnya.
Lord minto membagi wilayah indonesia dalam empat bagian yaitu : jawa dan daerahnya (madura, palembang, makassar, banjarmasin, dan nusa tenggara), malaka, bengkulu (pantai barat sumatra), maluku.
3.     Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Thomas Stamford Raffles
Pada tanggal 20 juni 1812 raffles bersama pasukanya menyerbu yogyakarta, sultan di tangkap dan dibuang ke penang. Raffles juga mengambil alih pengelolaan pajak, gerbang dan pasar, juga larangan memilikin tentara kecuali pengawal. Sementara itu di madura , bali, banjarmasin juga dipaksa untuk mengakui kekuasaan inggris. Di bone inggris tidak berhasil berkuasa karena aru palaka selalu mengadakan perlawanan.[4] Raffles juga menetapkan larangan perbudakan, adapun langkah-langkah yang dilakukannya adalah :
§  Pajak bagi pemeliharaan budak (1812)
§  Larangan perdagangan budak di seluruh nusantara
§  Dihapuskannya ketentuan penahanan budak oleh polisi atas permintaan pemiliknya (1813)
§  Larangan perlindungan sekop (sipenghutang beserta keluarga jadi buruh di tempat si pemberi hutang tanpa bayar)
Raffles juga menghapus  “comingenten” dan  “ verplice leverantics” serta menggantinya dengan bentuk pajak baru . sesuai dengan prinsip bahwa negeri jajahan harus menguntungkan negeri induk, maka diperlukan perubahan sistem pendapatan yang konsisten dengan keadilan politik cocok dengan pandangan inggris untuk membebaskan rakyat dari penindasan feodal. Raffles juga menerapkan sistem liberal. Dengan pemikirannya itu dia menggeser kedudukan penguasa tradisional dan diganti dengan pegawai-pegawai eropa yang akan memperkenalkan dan mengadministrasi sistem perpajakan baru, yaitu sistem pajak tanah. Yang menjadi dasar hukum dari sistem pajak tanah ini adalah pikiran bahwa pajak milik raja. Dengan pandangan demikian dia tidak mengakui adanyan hak yang milik turun-temurun yang dapat diwariskan  oleh petani kepada anak cucu mereka. Raffles juga dapat menyewakan tanah kepada swasta, harganya tergantung pada kesuburan tanahnya[5]. Raffles menetapakan pajak perseorangan, kemudian setelah uji coba dia menetapkan perindividu dan fungsi kepala desa sebagai pemegang buku. Karena pajak harus dibayar dengan uang, maka pedagang-pedagang perantara mendapatkan untung pula dari bentuk pajak baru ini (mereka membeli beras petani).
Dibidang keuangan, raffles melaksanakan monopoli garam, pembuatan arak serta memungut pajak dari orang-orang yang dimasukkan ke jawa. Karena kekurangan uang, raffles tidak pernah konsisten. Ia tetap melaksanakan tanam wajib kopi dan kayu jati. Rodi tidak juga dihapuskan karena pemerintah memerlukan tenaga buruh untuk pembuatan jalan. Dia juga menjual tanah pemerintah kepada orang-orang partikulir (terletak pada daerah panarukan, ciasan, tegal dan waru) dan membeli tanah probolinggo  (1813) yang dijual daendels karena rakyat disana dibawah pimpinan kyai mas memberontak akibat kekejaman pemiliknya han ti ko.
Raffles selama masa kekuasaanya tidak berhasil menyeimbangkan anggaran belanja sehingga menimbulkan ke tidak puasan direktur EIC. Sementara itu di eropa terjadi lagi perubahan politik setelah napoleon bonaparte dikalahkan, maka antara inggris-belanda membuat satu perjanjian yang disebut dengan konferensi london (1814) yang isinya :
1)     Indonesia dikembalikan kepada belanda
2)     Jajahan belanda seperti : sailan, cafe koloni, guyana tetap ditangan inggris
3)     Cochin (di pantai malabar) diambil oleh inggris dan bangka diserahkan kepada belanda sebagai gantinya.
Dan isi konferensi london tersebut tidak disetujui oleh raffles, karena dia melihat indonesia akan mempunyai arti yang sangat penting di kemudian hari. Hal ini mengakibatkan dia diganti oleh Jonh Fendal (1816) yang kemudian melakukan serah terima indonesia ke tangan belanda pada tanggal 19 agustus 1816.
C.    1816-1830[6]
1.     Masa komisaris jenderal 1816-1819
Setelah napoleon mangalami kekalahan di leipzig 1813, maka orang-orang belanda melakukan pemberontakan terhadap perancis. Saudara van hogendropmembuat organisasi pemerintahan sementara dan memanggil willeim  VI [anak standhouder (willem V)] dari inggris. Menurut undang-undang yang diterima pada tahun 1814, dia menjadi pangeran dengan tugas yang lebih luas yaitu tidak  hanya mengurus masalah keuangan saja, namun juga mengontrol daerah jajahan. Setelah itu, pada tahun 1815 menurut isi perjanjian wina, belanda dan belgia bergabung, maka dengan itu terbentuklah negara kerajaan Nederland. Membuat kedudukan willeim VI berubah menjadi raja dengan nama Willeim I.
Dengan adanya traktat london pada tahun 1814, mengharuskan inggris untuk mengembalikan semua jajahan belanda yang telah ditaklukkan semenjak 1803, kecuali afrika selatan dan ceylon. Termasuk indonesia yang khususnya jawa yang semenjak tahun 1811 telah dikuasai inggris harus dikembalikan lagi kepada belanda. Inilah awal dimulainya masa imprealisme belanda secara langsung (sebelumnya hanya melalui perpanjangan tangan pemerintah belanda dengan VOC) yang bernama “hindia-belanda”. Untuk serah terima antara inggris dengan belanda, ditunjuk tiga orang komisaris jenderal, yaitu cornelis theodorus elout, baron van der capellen (seorang ahli kenegaraan dengan reputasi yang tinggi) dan A.A Buyskes (yang sebelumnya adalah letnan gubernur jenderal pada masa Daendels) dan komisaris-komisaris ini dibantu oleh H.W Muntinghe yang berpengalaman. Sebagai ketua ditunjuk elout karena ia adalah seorang liberal, humatarian, dan pengikut pandangan adam smith.
Untuk menjalankan tugas-tugasnya, para komisaris-komisaris ini dilengkapi dengan undang-undang pemerintahan 1815 yang didasarkan pada kebebasan bertanam (kecuali rempah-rempah dan candu), kebebasan menjual apabila pajak telah dibayar dan hasil berlebih. Ketiga jendral ini sampai di jawa pada bulan april 1816 dan kemudian baru pada tanggal 19 agustus1816 di adakan serah terima dengan pihak inggris. Dalam naskah serah terima tersebut dinyatakan bahwa “ komisaris jendral diberi kekuasaan atas nama raja dan berhak memerinta serta menjalankan pemerintahan” dan untuk sementara waktu peraturan-peraturan yang berlaku sebelumnya akan dipertahankan.
Tugas yang dijalankan oleh para komisaris ini tidaklah mudah, karena para komisaris ini dihadapkan oleh banyak masalah antara lain adalah, masalah serah terima diluar jawa, lalu masalah dengan raffles dari inggris yang tidak menyetujui isi dari traktat london tersebut, masalah keuangan dan mempersiapkan  peraturan-peraturan yang sesuai dengan jawa khususnya dan indonesia umumnya.
Dikatakan bahwa tugas-tugas yang akan dijalankan oleh para komisaris ini cukup berat seperti pada masalah serah terima serta keamanan terjadi di daerah maluku dan palembang. Masalah di maluku, kedatangan belanda disambut oleh kaum pribumi dengan penuh kecurigaan, kebencian yang mendalam akibat penindasan yang pernah dilakukan oleh VOC dan dibandingkan dengan kelonggaran kelonggaran yang diberikan inggris menyebabkan penduduk pribumi menentang kembalinya kekuasaan belanda. Kebencian berubah menjadi sebuah pemberontakan yang dikenal dengan nama perang patimura (pemberontakan sapura). Perlawanan ini dapat diredam oleh belanda dengan cara tipu muslihat dan pengalaman pahit tersebut menyebabkan belanda menerapkan bahwa sistem monopoli dan pelayaran hongi dihapuskan. [7]
Di palembang juga terjadi perlawan , sultan najamuddin yang diangkat oleh inggris ( masa raffles) dibuang ke cianjur. Lalu sultan badaruddin yang dulunya menentang belanda dan juga menentang inggris di nobatkan kembali (1818). Kesempatan ini dimanfaatkan oleh sultan badaruddin untuk mensiasati cara untuk melakukan perlawana dengan belanda. Pada tahun 1819 belanda gagal menaklukkan palembang, barulah pada tahun 1821 di bawah de cock palembang dapat ditaklukkan oleh belanda dan sultan badaruddin  pun dibuang ke belanda ke ternate.
Peraturan-peraturan tahun  1818 dan 1819 ditetapkan antara lain : pajak tanah per individu diganti dengan pedesaan, penetapanya tidak ditentukan secara jumlah yang harus dibayar sebuah desa berdasarkan persetujuan , jadi dengan cara tawar menawar dan dapat dibayar dengan uang atau apa yang disukai petani.
2.     Masa Van Der Capellen 1819-1826
Van der capellen memerintah tidak berpedoman dengan undang-undang 1818/1819 yang telah disusun, sebaliknya sedikit demi sedikit kembali ke sistem lama. Dengan alasan untuk melindungi petani dari eksploitasi dan orang-orang asing. Namun kenyataanya, harga yang dibayarkan pemerintah kemudian sangat rendah (monopoli), walaupun ada perintah dari negri induk  (belanda ) 1821 supaya harga dinaikkan, namun tidak dipatuhi oleh van der capellen. Undang-undang di tahun 1823 berakibat lebih parah lagi. Isinya berupa larangan menyewakan tanah-tanah di kerajaan surakarta dan yogyakarta kepada orang-orang asing (eropa). [8] Pegawai-pegawai dibayar denga hasil tanah yang diberikan hak guna memakai mereka. Tanah-tanah itulah yang disewakan para bangsawan kepada orang-orang eropa dengan sewa yang lebih besar terhadap para bangsawan dan raja yogyakarta, sehingga kesalahan yang terjadiketika masa daendels, meletus dalam bentuk perang java.
Perlawanan pun timbul dari berbagai daerah di luar pulau jawa seperti di palembang dan sumatra barat. Tentu saja semua usaha memadamkan perlawana memerlukan biaya yang banyak. Sedangkan usulan di bidang keuangan dan perkebunan tidak mendapatkan kemajuan . hal tersebut menimbulkan ketidak puasan pemerintah belanda terhadap pemerintahan van der capellen karena:
a.      Hutang yang semakin besar (pengeluaran lebih besar dari pemasukan)
b.     Semakin berkurangnya hasil tanaman ekspor
c.      Ketidak pusan penanaman modal partikelir akibat politiknya terhadap pemilikan tanah.
d.     Sementara itu golongan liberal mengutuk sikapnya yang konservatif.
3.     Masa De Bus de Gisignies 1826-1830
De bus de gisignies yang setuju dengan gagasan raffles dan komisaris jenderal, dan menjalankan gagasan tersebut. Pada mei 1827 du bus telah dapat mengemukakan hasil penyelidikannya yang antara lain berisi, eksport jawa tidak sebanding dengan kesuburan  tanah dan banyaknya tenaga. Baru kurang lebih 4/5 tanah yang dikerjakan. Selama ekspor tidak dapat ditingkatkan dengan mengganti milik bersama menjadi milik perorangan, penambahan modal baru untuk perkebunan di samping yang telah ada. Tanah-tanah yang diberikan adalah tanah yang belum dibuka yang terletak di dekat desa yang padat sehingga petani dapat tambahan penghasilan baru. Dan ternyata buah pikiran de bus tersebut ditolak oleh raja. Sementara itu keuangan belanda semakin merosot  akibat situasi di eropa dan perang yang terjadi di indonesia, dan utang-utang belanda yang besar perlu dikembalikan lagi. Oleh karena masalah gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri belanda. Maka  pada tahun 1830 pemerintah belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru untuk indonesia yaitu: Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang tidak terjadi selama sistem pajak tanah berlangsung dengan melakukan gagasan sistem tanam paksa.  



Daftar pustaka :
Kartodirjo, sartono. 1999. pengantar sejarah indonesia baru :1500-1900 dari
                  emporium sampai imperium jilid1. jakarta: PT Gramedia pustaka.
Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka.

Ricklefs,MC,2009,sejarah indonesia modern :1200-1008,jakarta :Ptserambi ilmu
                  semesta.
Prajudi,atmosudirdjo,1984, sejarah ekonomi indonesia,jakarta:PT Pradya paramita.



[1] Ricklefs,MC,2009,sejarah indonesia modern :1200-1008,jakarta :Ptserambi ilmu semesta, hal.243
[2] Prajudi,atmosudirdjo,1984, sejarah ekonomi indonesia,jakarta:PT Pradya paramita, hal.138,140
[3] Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.57-58


[4] Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.58-59


[5] Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.60


6Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.60-62

[7] Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.61-63


[8] Kartodirjo,Dkk.1975.sejarah nasional indonesia IV.jakarta:balai pustaka, hal.63-65


INDONESIA 1800-1850

Nama : MARSINTA ULI
Npm : 13020017

INDONESIA 1800-1850
A.    Indonesia pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19
1.     Hapusnya kekuasaan VOC di Indonesia dan peta politik akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
Pada pertengahan abad ke-18 VOC mengalami kemunduran karena beberapa sebab sehingga dibubarkan :
a.      Banyaknya pegawai VOC yang curang dan korupsi
b.     Banyaknya pengeluaran untuk biaya peperangan, contoh ; peperangan melawan Hasanuddin dari Gowa
c.      Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak
d.     Pembayaran devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pepasukan VOC kekurangan.
e.      Bertambagnya saingan dagang di asia terutama inggris dan prancis
f.      Perubahan politik dibelanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan berdagang bebas .
Berdasarkan alasan diatas VOC dan kekuasaanya dihapuskan pada tanggal 31 desember 1799 dengan hutang 136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di indonesia.[1]
Setelah VOC dihapuskan pada akhir abad ke 18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek dibawah Thomas stamford Raffles, pemerintah belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan dijawa berhasil ditumpaskan dalam perang diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa mulai diterapkan. [2]
Pada dasarnya sistem tanam paksa ini, yang selama zaman belanda terkenal dengan nama Cultuurstelsel berarti pemulihan  sistem exploatasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam tanaman-tanaman perdagangan untuk diexport ke pasar dunia. Pada saat itu seperti teh, kopi, dll. Sistem ini membawa kekayaan besar kepada para pelaksanaannya baik yang belanda maupun  yang indonesia. [3]
Dengan diperkenalkannya tanaman-tanaman ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi dipasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman eksport, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan. Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk di ekspor belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanaman ekspor, diperkenalkanya mata uang secara besar-besaran sampai lapisan terbawah masyarakat jawa. Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan menaikkan taraf hidup masyarakat indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah belanda sendiri, tetapi hal ini menciptakan kegiatan ekonomi baru orang jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk kedalam berbagai kegiatan yang berkaitan denagan uang.
Penentangan tanam paksa juga tidak dapat dielakkan, terbukti para tokoh-tokoh yang mempunyai kepentinga tersendiri juga menentang sistem tanam paksa dan memperkarakan keuntungan yang didapat oleh pihak belanda. Dengan melihat angka keuntungan pemerintah belanda maka dapat dikatakan bahwa sistem tanam paksa mampu membangkitkan perekonomian belanda. Maka pada pertengahan abad ke 19 golongan liberal pada pemerintah belanda menyerukan untuk menghapus sistem tanam paksa di indonesia dan menggantikannya dengan modal swasta dan kerja bebas. Dalam tahun-tahun 1860-an desakan itu menjadi kuat. Perubahan nyata muncul ketika pemerintah konservatif yang mendukung sistem tanam paksa jatuh pada tahun 1860. Pemerintah baru yang dibentuk oleh kaum liberan sejak 1962 mulai mengadakan perubahan mendasar sehingga menjelang abad ke-20 seluruh sistem lenyap.
Pada tahun 1901pihak belanda mengadopsi apa yang mereka sebut politik etis (bahasa belanda; ethische politiek), yang termasuk ivestasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Dibawah gubernur jendral Jbvan Heutsz pemerintah hindia-belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang hindia-belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara indonesia saat ini.
2.     Pandangan-pandangan belanda tentang sistem pengelolaan daerah koloni (konservativ dan liberal)
Parlemen Belanda yang terdiri dari golongan konservatif dan golongan liberal memiliki pandangan yang berbeda dalam situasi ini. Golongan konservatif menganggap bahwa eksploitasi yang dijalankan ditanah kolonisudah sesuai dengan tuntunan situasi, sementara sistem eksploitasi yang dikonsepkan oleh golongan liberal belum sepenuhnya meyakinkan pemerintah. Golongan liberal sendiri terdapat dua pendapat yaitu yang amsih mempertahankan prinsip liberal seperti kebebasan berusaha dan campur tangan yang minimal dari pemerintahan dan gol[4]ongan libaral yang menekankan pada prinsip humaniter dan menginterprestasikan prinsip liberal sebagai prinsip bemberi keadilan dan perlindungan bagi semua kepentingan. Dalam kondisi perpecahan di golongan liberal, pihak konservatif akhirnya bisa menyakinkan pemerintah bahwa sistem kompeni terbukti dapat dilaksanakan didaerah jajahan dan lebih efektif sementara sistem liberal tidak dapat dilaksanakan dinegeri jajahan karena tidak sesuai dengan kondisi ekonomi lokal. Dengan kalahnya golongan liberal maka pembangunan ekonomi cultuurstelsel pemerintah kolonial belanda dimulai.

Daftar pustaka
Kartodirdjo,sartono,1999. Sejarah pergerakan nasional.jakarta : gramedia.
Kartodidjo, m.joened,1975. Sejarah nasional indonesia lv. Balai pustaka.
R.Z. leirissa.2012.sejarah perekonomian indonesia. Yogyakarta : Ombak




Kartodirdjo,sartono,1999. Sejarah pergerakan nasional.jakarta : gramedia.hal 75
Kartodidjo, m.joened,1975. Sejarah nasional indonesia lv. Balai pustaka. Hal 67-76
[3] G. Gonggrijp,op.cit,.111
Robert van niel,op.cit,.98
Ibid,98
Kartodirdjo,sartono,1999. Sejarah pergerakan nasional.jakarta : gramedia.hal 76-77
Kartodidjo, m.joened,1975. Sejarah nasional indonesia lv. Balai pustaka. Hal 67-76