Sejak Belanda mencerngkramkan
kekuasaannya di Nusantara, sejak saat itu pula kehidupan masyarakat Nusantara
ditentukan oleh keadaan politik yang terjadi di negeri Belanda dan Eropa.
Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Belanda, semata-mata semuanya adalah
untuk mencari keuntungan untuk pihak Belanda sendiri, sedangkan rakyat
Indonesia yang dikuasai mengalami penderitaan yang cukup hebat karena harus
menanggung kebijakan yang menyengsarakan tersebut.
Selain melakukan kebijakan yang bertujuan untuk
mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah jajahan, Belanda juga melakukan
politik Pax Nederlandica dan mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan
oleh para misionaris. Kedua hal tersebut dilakukan Belanda dalam rangka
melanggenkan kekuasaannya di Nusantara. Maka beragam reaksi perlawan dilakukan
oleh rakyat atas kebijakan Belanda yang menyengsarakan tersebut dan proses
kristenisasi yang dianggap sebagai sebuah hal yang bertentangan bagi rakyat
Indonesia yang pada saat itu sudah mempunyai agama. Perlawanan tersebut
biasanya dipimpin oleh para pemimpin lokal yang kebanyakan khawatir dengan
politik Pax Nedelandica yang akan merongrong daerah kekuasaannya.
Diantara banyak perlawanan yang dilakukan rakyat
Indonesia beserta pemimpinnya, salah satunya adalah perlawanan Tapanuli atau
perang Tapanuli biasa disebut dengan perang Batak yang berlangsung selama 29
tahun dengan tokoh terkenalnya yaitu Sisingamangaraja XII.
- Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanggal 19
November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sisingamangaraja XII
memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli,
Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu
Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga
Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19
tahun. Gelarnya adalah Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga
kata, yaitu ‘si’, ‘singa’, dan ‘mangaraja’. ‘Si’ adalah kata sapaan, ‘singa’
merupakan bahasa Batak yang berarti bentuk rumah Baka, sedangkan ‘mangaraja’
sama maksudnya dengan kata ‘maharaja’. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja
orang Batak.
Ada dua versi tentang asal-usul Sisingamangaraja dan kerjaan Batak. versi
pertama mengatakan Sisingamanagaraja adalah keturunan seorang pejabat yang
ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang
berkeliling ke Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam
sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin
Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan
Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia
sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20,
Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin
Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya
kepada pemimpin Pagaruyung.
Sedangkan versi kedua berasal dari mitos rakyat yang diceritakan dalam
berbagai versi lagi, namun secara garis besar versi itu menyatakan Manghuntal
(Sisingamanagaraja I) adalah keturunan Bona Ni Onan bermarga Sinambela. Sebelum
kelahirannya Sisingamaraja I telah diramalkan bahwa ia adalah titisan dari
Batara Guru dan akan menjadi seorang raja besar. Setelah dewasa Manguntal
akhirnya menjadi raja setelah berhasil mencabut keris yang bernama Piso Gaja
Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja Dompak dinyakini tidak akan bisa
dicabut dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki kesaktian, kecuali
oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi titisan Batara Guru
(orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja).
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran
dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang
dipimpin Kapten Hans Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan
Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang
tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan
Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya
mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan
ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang
dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.
- Jalannya Perang Batak
Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali
Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah
pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan
beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja
XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus
dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti
penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan
kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII.
Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya
menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan
seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil
Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal
Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini
telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas
(perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal
Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan
yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada
tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang
pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun
Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa
keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa
Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam
kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun Bangkara telah ditaklukkan,
Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai
akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu,
Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Karena
lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh
dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan
tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di
Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena Belanda selalu
unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara
tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua. Mereka
dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat
dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda
juga menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga Belanda terpaksa
mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari
berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan. Pada tanggal 8
Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali menyerang Belanda. Seorang
prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Belanda
mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat direbut
kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda.
Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran. Pasukan Belanda terus
mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba, terjadi pertarungan
sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya
terus menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke
daerah Horion. Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di
seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan
menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII
tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada
menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu
pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan
Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”.
Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut
Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong
dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII
menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung,
Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal
Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus
Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini
terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan
mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah.
Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri
Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri
Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru
Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam,
putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain. Tahun 1907, di pinggir kali Aek
Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten
Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII
oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII
gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya
Lopian. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan,
sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan
dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya Sisingamangaraja
XII merupakan pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda.
- Akhir Perang
Yang awalnya
pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana namun tahun 1900 kekuatan
Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna tidak dikerahkan untuk
melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan memperthankan diri dari
serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak – Pak Masih setia kepada
mereka. Selain itu Belanda juga melakukan gerakan pembasmi gerakan –
gerakan perlawanan yang ada diSumatera ( Aceh dan Batak). Operasi
diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus ke Batak. Mereka
mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung yang membangkan pertempuran
semakin sengit antara kedua belah pihak. Pada saat Belanda sampai di daerah pak – Pak
dan Dairi pasukan Si Singa Mangaraja semakin terkepung sedangkan di lain
pihak hubungan mereka dengan Aceh sudah terputus. Denga terdesaknya
pasukan Si Singa Mangaraja merka terus berpindah – pindah dari satu tempat
ketempat yang lain untuk menyelamatkan diri. Tahun 1907 pengepungan yag
dilakukan oleh Belanda terhadap pasukan Si Singa Mangaraja dilakukan secara
intensif yang dipimpin oleh Hans Christoffel.
Dimulai
menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun merak gagal menangkap Si
Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja ditawan oleh Belanda. Boru
Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan dijadikan tawanan perang oleh
Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum juga mneyerahkan diri dan
belanda terus mencari sampai tanggal 28 Mei pihak belanda mengetahui
bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus maka Wenzel menarahkan pasukan
untuk menangkapnya tetapi tidak berhasil.
Pada 4 Juni
1907 pihak Belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Penegen dan
Bululage dan mereka melakukan pengerebekan melalui Huta Anggoris
yang tak jauh dari panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah meninggalkan
tepat itu sebelum mereka datang. Si Singa Mangaraja terus menyikir ke darah
Alahan sementara itu Belanda terus mengejar melalui kampung Batu
Simbolon, Bongkaras dan Komi. Banyak penduduk sekitar ditangkap karena
dicurigai bekerjasma dengan Si Singa Mangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan
Belanda tanggal 17 jJuni 1907 Si Singa Mangaraja berhasil ditangkap
didekat Aik Sibulbulon ( derah Dairi ) dalam keadaan lemah Si Singa Mangaraja
dan pasukanya terus mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa Si Singa Mangaraja
tertebak oleh Belanda sehingga pada saat itu Si Singa Mangaraja mati terbunuh
ditempat. Disaat yang bersamaan anak perempuan dan dua putra laki – lakinya
juga gugur sedankan istri, ibu dan putra – putra masih menjadi tawana
perang oleh Belanda. dengan gugurnya Si Singa Mangaraja maka seluruh daerah Batak menjadi milik
Belanda. Sejak saat itu kerja rodi didaerah ini meraja lelah struktur
tradisional masyarakat semaki lama semakin runtuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Noto S. 1984. Sejarah Nasional Jilid
VI.Jakarta : balai
Pustaka
Ricklefs,
M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200.
alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu