SEJARAH ZAMAN PENGARUH BARAT
SISTEM TANAM PAKSA
A. Latar belakang
Ciri utama dari sistem
tanam paksa yang diintroduksi oleh Van den Bost adalah keharusan bagi rakyat di
jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil
pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka telah lakukan selama
sistem pajak tanah masih berlaku. Diharapkan oleh Van den Bost bahwa dengan
pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa diperoleh dalam jumlah
yang besar, yang kemudian dapat dikirimkan ke negeri belanda untuk dijual
disana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh eropa dengan keuntungan
yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
Selama
sistem pajak tanah masih berlaku antara tahun 1810 dan 1830 penanaman dan
penyerahan wajib telah dihapus terkecuali untuk daerah parahyangan di jawa barat. Di daerah ini rakyat
parahyangan diwajibkan untuk menanam
kopi, khususnya di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong. Pajak
yang mereka wajib membayar kepada pemerintah kolonial adalah dalam bentuk kopi
yang mereka hasilkan, sedangkan mereka dibebaskan dari segala macam bentuk
pajak lainnya, terkecuali yang mereka bayarkan secara tradisionil kepada para
bupati. Dalm sistem tanam paksa, azas yang diterapkan di daerah parahyangan ini
ingin diterapkan diseluruh pulau jawa. Khusunya diharapkan bahwa sistem tanam
paksa ini dapat meningkatkan produksio tanaman dagangan diseluruh pulau jawa
sampai tingkat yang dicapai di daerah parahyangan, yaitu yang rata-rata dapat
menghasilkan F.5 per satu rumah tangga.
Dalam
salah satu prasaran yang telah ditulis
Van den Bost sebelum dia dikirim ke indonesia terdapat suatu perkiraan bahwa
produksi tanaman eksport dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih F.15 sampai F.20 juta setiap tahun. Jika sistem
tanam paksa yang dipraktekkan di parhyangan
juga diintroduksi di daerah-daerah lainnya. Van den Bost yakin bahwa paksaan
seperti yang dijalankan oleh VOC adalh cara yang terbaik untuk memperoleh
tanaman dagangan untuk pasaran eropa, karena ia menyaksikan bahwa
perkebuan-perkebunan eropa yang memperkerjakan tenaga-tenaga kerja yang bebas dapat
bersaing dengan perkebunan-perkebunan di pulau-pulau karibia, hindia barat,
yang menggunakan tenaga-tenaga budak. Di
lain pihak Van den Bost berkeyakinan bahwa penghapusan sistem pajak tanah dan
penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan menguntungkan para
petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah
yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sebanyak
sepertiga sampai separoh dari nilai hasil pertaniannya. Jiak kewajiban pembayaran
pajak tanah ini diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu
kerjanya untuk menanam tanaman dagangan, misalnya 66 hari dalam setahun, maka
kewajiban ini akan lebih ringan daripada kewajiban membayar pajak tanah.
B. Tanam
paksa dalam teori
Tanam paksa dalam Teori tertera dalam
staatsblad (lembaran negara tahun 1834, no.22, jadi beberapa tahun setelah
sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau jawa, berbunyi sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan
akan diadakan dengan penduduk dimana mereka menyediakan sebagian dari tanahnya
untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasaran Eropa;
2. Bagian
dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak
diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk
desa;
3. Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
4. Bagian
dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanh;
5. Tanaman
dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang di sediakan wajib diserahkan
kepada pemerintah Hindia-belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang
ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih
positifnya harus diserahkan kepada rakyat;
6. Panen
tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kekurangan
kerajinan atau ketekunan pada pihak rakyat;
7. Pendudk
desa akan mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala
mereka, sedangkan pegawai-pegawai eropa hanya akan membatasi diri pada
pengawasan apakah pembajan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
C. Pelaksanaan
Diatas kertas ketentuan-ketentuan diatas
memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat, namun dalam praktek ternyata
bahwa pelaksanaan sistem tanam paksa sering jauh sekali menyimpang dari
ketentuan-ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan. Inilah
penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa. Jenis-jenis
penyimpangan dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Praktik
penyediann tanah untuk penanaman tanaman yang diwajibkan oleh pemerintah
kolonial sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dilakukan
dengan paksaan.
2. Dibeberapa
daerah penyediaan tanah dibebankan bukan secara individual melainkan kepada
seluruh desa, sehingga berakibat timbulnya perluasan tanah komunal (milik
bersama)
3. Dalam
teori, bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib hanay
1/5, namun dalam praktiknya, melebihi ketentuan tersebut.
5. Pembayaran
setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati sesuai dengan jumlah barang
yang diserahkan.
6. Dalam
teori, pekerjaan perkebunan tanaman yang diwajibkan akan mendapat upah, namun
dalam praktiknya banyak yang tidak diberi upah sama sekali
Lima
dari tujuh ketentuan yang ditetapkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok,
kecuali mungkin yang tertera dalam ketentuan-ketentuan no. 4 dan 7 tersebut
diatas.
. D. Dampak sosial ekonomi tanam paksa terhadap
masyarakat jawa
Dampak tanam paksa bagi masyarakat
di pulau jawa sangat beragam. Bagi kalangan elite bangsawan, masa tanam paksa
merupakan masa yang cukup menguntungkan. Kedudukan feudal mereka menjadi lebih
aman karena menurut ketentuan jabatan mereka diwariskan turun temurun. Mereka
memperoleh presentase keuntungan yang cukup besar dari penyerahan wajib tanam
paksayang mereka kelola. Sebenarnya kaum elite bangsawan pada masa tanam paksa
menjadi alat kekuasaan pemerintah kolonial belanda. Sehingga tidak heran, agar
mendapat presentase keuntungan yang lebih besar mereka harus melakukan
pemaksaan kepada para petani.
Sementara
itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup
menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh
sebagian besar petani. Penanaman tebu dan gula mengambil lahan petani, tenaga
kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan
penduduk setempat. Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah
seperti priangan timur dan grobongan menunjukkan adanya dampak buruk dari kebijakan
tanam paksa.
E. keuntungan tanam paksa bagi Belanda
1. Meningkatnya
hasil tanaman eksport dari negeri
jajahan dan dijual belanda dipasaran Eropa.
2. Perusahaan
pelayaran belanda yang semuala hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa
tanam paksa mendapatkan keuntungan.
3. Belanda
mendapatkan keuntungan yang besar, keuntungan tanam paksa pertama kali pada
tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12-18
juta gulden.
4. Kas
belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5. Penerimaan
pendapatan melebihi anggaran belanja.
6. Belanda
tidak mengfalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang
indonesia.
7. Menjadikan
amsterdam sebagai pusat perdagang hasil tanaman tropis.
Kebijakan
tanam paksa terbukti memberikan keuntungan yang sangat besar bagi belanda.
Selain dapat untuk menutup semua utang pemerintah kerajaan belanda dan
pemerintah kolonial belanda, negeri belanda mendapatkan keuntungan bersih
(batig slot), rat-rata pertahun mencapai 10 sampai 14 juta gulden. Dalam jangka
waktu antara tahun 1831 -1877, negeri belanda mendapatkan batig slot sebesar
823 gulden (suharto,1994: 12-13).
Reaksi
terhadap politik tanam paksa diwilayah hindia-belanda mulai muncul pada tahun
1848. Perdebatan-perdebatan berlangsung didalam parlementer negeri belanda.
Golongan liberal mulai mendominasi parlement dan merekalah yang banyak
menentang politik tanam paksa. Kemenangan kaum liberal pada tahun 1848 ditandai
oleh disahkannya konstitusi belanda dimana terjadi perubahan sistem
pemerintahan negeri belanda dari monarkhi-konstitusional menjadi
monarkhi-demokrasi parlementer. Berikutnya pada tahun 1854 disahkan regeering reglement
(RR) yang berisi jaminan kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha
(terutama dibidang ekonomi). RR ini
belakangan menjadi dasar dalam penerapan politik kolonial liberal.
Decade
1850-1870 di negeri belanda ditandai oleh pertumbuhan industri-industri dan
perkembangan bank-bank. Kosentrasi dan sentralisasi modal beralih ke tangan
kaum liberal. Kebijakan-kebiajakan merkantilisme dan proteksi mulai digugat
oleh kaum liberal agar diganti dengan kebijakan non-intervensi. Pada tahun 1867
muncul UU yang disebut comptabiliteit wet. Isinya adalah anggaran belanja
pemerintah kolonial belanda. Isu-isu mengenai batig sloth (keuntungan bersih)
menjadi sasaran kritik-kritik pedas, baik dari golongan liberal maupun golongan
humanis. Kedua golongan inilah yang paling gencar mengkritik politik tanam
paksa dan penerapanya di indonesia (hindia-balanda).
Daftar
Pustaka :
Sartono,
kartodirjo,dkk.1975. sejarah nasional indonesia IV. Jakarta : balai pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar