Sabtu, 06 Juni 2015

SISTEM TANAM PAKSA


SEJARAH ZAMAN PENGARUH BARAT

SISTEM TANAM PAKSA
    A. Latar belakang
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van den Bost adalah keharusan bagi rakyat di jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka telah lakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Diharapkan oleh Van den Bost bahwa dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa diperoleh dalam jumlah yang besar, yang kemudian dapat dikirimkan ke negeri belanda untuk dijual disana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
Selama sistem pajak tanah masih berlaku antara tahun 1810 dan 1830 penanaman dan penyerahan wajib telah dihapus terkecuali untuk daerah parahyangan  di jawa barat. Di daerah ini rakyat parahyangan diwajibkan untuk menanam  kopi, khususnya di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong. Pajak yang mereka wajib membayar kepada pemerintah kolonial adalah dalam bentuk kopi yang mereka hasilkan, sedangkan mereka dibebaskan dari segala macam bentuk pajak lainnya, terkecuali yang mereka bayarkan secara tradisionil kepada para bupati. Dalm sistem tanam paksa, azas yang diterapkan di daerah parahyangan ini ingin diterapkan diseluruh pulau jawa. Khusunya diharapkan bahwa sistem tanam paksa ini dapat meningkatkan produksio tanaman dagangan diseluruh pulau jawa sampai tingkat yang dicapai di daerah parahyangan, yaitu yang rata-rata dapat menghasilkan F.5 per satu rumah tangga.
Dalam salah satu prasaran  yang telah ditulis Van den Bost sebelum dia dikirim ke indonesia terdapat suatu perkiraan bahwa produksi tanaman eksport dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih F.15  sampai F.20 juta setiap tahun. Jika sistem tanam paksa yang dipraktekkan  di parhyangan juga diintroduksi di daerah-daerah lainnya. Van den Bost yakin bahwa paksaan seperti yang dijalankan oleh VOC adalh cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman dagangan untuk pasaran eropa, karena ia menyaksikan bahwa perkebuan-perkebunan eropa yang memperkerjakan tenaga-tenaga kerja yang bebas dapat bersaing dengan perkebunan-perkebunan di pulau-pulau karibia, hindia barat, yang menggunakan tenaga-tenaga budak.  Di lain pihak Van den Bost berkeyakinan bahwa penghapusan sistem pajak tanah dan penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan menguntungkan para petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah  yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sebanyak sepertiga sampai separoh dari nilai hasil pertaniannya. Jiak kewajiban pembayaran pajak tanah ini diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman dagangan, misalnya 66 hari dalam setahun, maka kewajiban ini akan lebih ringan daripada kewajiban membayar pajak tanah.

B.    Tanam paksa dalam teori
Tanam paksa dalam Teori tertera dalam staatsblad (lembaran negara tahun 1834, no.22, jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau jawa, berbunyi sebagai berikut:
1.     Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk dimana mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasaran Eropa;
2.     Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
3.     Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan  tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
4.     Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan  dibebaskan dari pembayaran pajak tanh;
5.     Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang di sediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia-belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat;
6.     Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kekurangan kerajinan atau ketekunan pada pihak rakyat;
7.     Pendudk desa akan mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah pembajan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

C.    Pelaksanaan
Diatas kertas ketentuan-ketentuan diatas memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat, namun dalam praktek ternyata bahwa pelaksanaan sistem tanam paksa sering jauh sekali menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan. Inilah penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa. Jenis-jenis penyimpangan dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Praktik penyediann tanah untuk penanaman tanaman yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dilakukan dengan paksaan.
2.     Dibeberapa daerah penyediaan tanah dibebankan bukan secara individual melainkan kepada seluruh desa, sehingga berakibat timbulnya perluasan tanah komunal (milik bersama)
3.     Dalam teori, bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib hanay 1/5, namun dalam praktiknya, melebihi ketentuan tersebut.
5.     Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati sesuai dengan jumlah barang yang diserahkan.
6.     Dalam teori, pekerjaan perkebunan tanaman yang diwajibkan akan mendapat upah, namun dalam praktiknya banyak yang tidak diberi upah sama sekali
Lima dari tujuh ketentuan yang ditetapkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok, kecuali mungkin yang tertera dalam ketentuan-ketentuan no. 4 dan 7 tersebut diatas.

. D.  Dampak sosial ekonomi tanam paksa terhadap masyarakat jawa
            Dampak tanam paksa bagi masyarakat di pulau jawa sangat beragam. Bagi kalangan elite bangsawan, masa tanam paksa merupakan masa yang cukup menguntungkan. Kedudukan feudal mereka menjadi lebih aman karena menurut ketentuan jabatan mereka diwariskan turun temurun. Mereka memperoleh presentase keuntungan yang cukup besar dari penyerahan wajib tanam paksayang mereka kelola. Sebenarnya kaum elite bangsawan pada masa tanam paksa menjadi alat kekuasaan pemerintah kolonial belanda. Sehingga tidak heran, agar mendapat presentase keuntungan yang lebih besar mereka harus melakukan pemaksaan kepada para petani.
Sementara itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh sebagian besar petani. Penanaman tebu dan gula mengambil lahan petani, tenaga kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan penduduk setempat. Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah seperti priangan timur dan grobongan menunjukkan adanya dampak buruk dari kebijakan tanam paksa.

E.  keuntungan tanam paksa bagi Belanda
1.     Meningkatnya hasil tanaman eksport  dari negeri jajahan dan dijual belanda dipasaran Eropa.
2.     Perusahaan pelayaran belanda yang semuala hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
3.     Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, keuntungan tanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12-18 juta gulden.
4.     Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5.     Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
6.     Belanda tidak mengfalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang indonesia.
7.     Menjadikan amsterdam sebagai pusat perdagang hasil tanaman tropis.

Kebijakan tanam paksa terbukti memberikan keuntungan yang sangat besar bagi belanda. Selain dapat untuk menutup semua utang pemerintah kerajaan belanda dan pemerintah kolonial belanda, negeri belanda mendapatkan keuntungan bersih (batig slot), rat-rata pertahun mencapai 10 sampai 14 juta gulden. Dalam jangka waktu antara tahun 1831 -1877, negeri belanda mendapatkan batig slot sebesar 823 gulden (suharto,1994: 12-13).
Reaksi terhadap politik tanam paksa diwilayah hindia-belanda mulai muncul pada tahun 1848. Perdebatan-perdebatan berlangsung didalam parlementer negeri belanda. Golongan liberal mulai mendominasi parlement dan merekalah yang banyak menentang politik tanam paksa. Kemenangan kaum liberal pada tahun 1848 ditandai oleh disahkannya konstitusi belanda dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan negeri belanda dari monarkhi-konstitusional menjadi monarkhi-demokrasi parlementer. Berikutnya pada tahun 1854 disahkan regeering reglement (RR) yang berisi jaminan kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha (terutama dibidang ekonomi).  RR ini belakangan menjadi dasar dalam penerapan politik kolonial liberal.
Decade 1850-1870 di negeri belanda ditandai oleh pertumbuhan industri-industri dan perkembangan bank-bank. Kosentrasi dan sentralisasi modal beralih ke tangan kaum liberal. Kebijakan-kebiajakan merkantilisme dan proteksi mulai digugat oleh kaum liberal agar diganti dengan kebijakan non-intervensi. Pada tahun 1867 muncul UU yang disebut comptabiliteit wet. Isinya adalah anggaran belanja pemerintah kolonial belanda. Isu-isu mengenai batig sloth (keuntungan bersih) menjadi sasaran kritik-kritik pedas, baik dari golongan liberal maupun golongan humanis. Kedua golongan inilah yang paling gencar mengkritik politik tanam paksa dan penerapanya di indonesia (hindia-balanda). 




Daftar Pustaka :
Sartono, kartodirjo,dkk.1975. sejarah nasional indonesia IV. Jakarta : balai pustaka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar