Rabu, 10 Juni 2015

sejarah perang Batak / Sisingamangaraja


Sejak Belanda mencerngkramkan kekuasaannya di Nusantara, sejak saat itu pula kehidupan masyarakat Nusantara ditentukan oleh keadaan politik yang terjadi di negeri Belanda dan Eropa. Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Belanda, semata-mata semuanya adalah untuk mencari keuntungan untuk pihak Belanda sendiri, sedangkan rakyat Indonesia yang dikuasai mengalami penderitaan yang cukup hebat karena harus menanggung kebijakan yang menyengsarakan tersebut.
Selain melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah jajahan, Belanda juga melakukan politik Pax Nederlandica dan mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris. Kedua hal tersebut dilakukan Belanda dalam rangka melanggenkan kekuasaannya di Nusantara. Maka beragam reaksi perlawan dilakukan oleh rakyat atas kebijakan Belanda yang menyengsarakan tersebut dan proses kristenisasi yang dianggap sebagai sebuah hal yang bertentangan bagi rakyat Indonesia yang pada saat itu sudah mempunyai agama. Perlawanan tersebut biasanya dipimpin oleh para pemimpin lokal yang kebanyakan khawatir dengan politik Pax Nedelandica yang akan merongrong daerah kekuasaannya.
Diantara banyak perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia beserta pemimpinnya, salah satunya adalah perlawanan Tapanuli atau perang Tapanuli biasa disebut dengan perang Batak yang berlangsung selama 29 tahun dengan tokoh terkenalnya yaitu Sisingamangaraja XII. 

  •          Sisingamangaraja XII


Sisingamangaraja XII adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanggal 19 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sisingamangaraja XII memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli, Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19 tahun. Gelarnya adalah Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga kata, yaitu ‘si’, ‘singa’, dan ‘mangaraja’. ‘Si’ adalah kata sapaan, ‘singa’ merupakan bahasa Batak yang berarti bentuk rumah Baka, sedangkan ‘mangaraja’ sama maksudnya dengan kata ‘maharaja’. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja orang Batak.
Ada dua versi tentang asal-usul Sisingamangaraja dan kerjaan Batak. versi pertama mengatakan Sisingamanagaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling ke Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Sedangkan versi kedua berasal dari mitos rakyat yang diceritakan dalam berbagai versi lagi, namun secara garis besar versi itu menyatakan Manghuntal (Sisingamanagaraja I) adalah keturunan Bona Ni Onan bermarga Sinambela. Sebelum kelahirannya Sisingamaraja I telah diramalkan bahwa ia adalah titisan dari Batara Guru dan akan menjadi seorang raja besar. Setelah dewasa Manguntal akhirnya menjadi raja setelah berhasil mencabut keris yang bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja Dompak dinyakini tidak akan bisa dicabut dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki kesaktian, kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi titisan Batara Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja). 
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.

  •          Jalannya Perang Batak

Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena Belanda selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua. Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda juga menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga Belanda terpaksa mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan. Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali menyerang Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat direbut kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda. Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba, terjadi pertarungan sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah Horion. Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain. Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya  Sisingamangaraja XII merupakan pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda.
  •      Akhir  Perang

Yang awalnya pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana namun tahun 1900 kekuatan Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna tidak dikerahkan untuk melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan memperthankan diri dari serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak – Pak Masih setia kepada mereka. Selain itu  Belanda juga melakukan gerakan pembasmi gerakan – gerakan perlawanan  yang ada diSumatera ( Aceh dan Batak). Operasi diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus ke Batak. Mereka mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung yang membangkan pertempuran semakin sengit antara kedua belah pihak.  Pada saat Belanda sampai di daerah pak – Pak dan Dairi  pasukan Si Singa Mangaraja semakin terkepung sedangkan di lain pihak hubungan mereka dengan Aceh sudah terputus. Denga terdesaknya  pasukan Si Singa Mangaraja merka terus berpindah – pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk menyelamatkan diri. Tahun 1907 pengepungan yag dilakukan oleh Belanda terhadap pasukan Si Singa Mangaraja dilakukan secara intensif  yang dipimpin oleh Hans Christoffel.
Dimulai menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun merak gagal menangkap Si Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja ditawan oleh Belanda. Boru Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan dijadikan tawanan perang oleh Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum juga mneyerahkan diri dan belanda terus mencari  sampai tanggal 28 Mei pihak belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus  maka Wenzel menarahkan pasukan untuk menangkapnya tetapi tidak berhasil.   
Pada 4 Juni 1907 pihak Belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Penegen dan Bululage dan mereka melakukan pengerebekan  melalui Huta Anggoris  yang tak jauh dari panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah meninggalkan tepat itu sebelum mereka datang. Si Singa Mangaraja terus menyikir ke darah Alahan  sementara itu Belanda terus mengejar melalui kampung Batu Simbolon, Bongkaras dan Komi. Banyak penduduk sekitar ditangkap karena dicurigai bekerjasma dengan Si Singa Mangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan Belanda tanggal 17 jJuni 1907 Si Singa Mangaraja berhasil ditangkap  didekat Aik Sibulbulon ( derah Dairi ) dalam keadaan lemah Si Singa Mangaraja dan pasukanya terus mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa Si Singa Mangaraja tertebak oleh Belanda sehingga pada saat itu Si Singa Mangaraja mati terbunuh ditempat. Disaat yang bersamaan anak perempuan dan dua putra laki – lakinya juga gugur sedankan istri, ibu  dan putra – putra masih menjadi tawana perang oleh Belanda.  dengan gugurnya Si Singa Mangaraja maka seluruh daerah Batak menjadi milik Belanda. Sejak saat  itu kerja rodi didaerah ini meraja lelah struktur tradisional masyarakat semaki lama semakin runtuh.





DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Noto S. 1984. Sejarah Nasional Jilid           VI.Jakarta : balai Pustaka
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200.  alih bahasa  Satrio
Wahono dkk. Sejarah Indonesia Modern  1200 – 2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu

Sabtu, 06 Juni 2015

SISTEM TANAM PAKSA


SEJARAH ZAMAN PENGARUH BARAT

SISTEM TANAM PAKSA
    A. Latar belakang
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van den Bost adalah keharusan bagi rakyat di jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka telah lakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Diharapkan oleh Van den Bost bahwa dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa diperoleh dalam jumlah yang besar, yang kemudian dapat dikirimkan ke negeri belanda untuk dijual disana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
Selama sistem pajak tanah masih berlaku antara tahun 1810 dan 1830 penanaman dan penyerahan wajib telah dihapus terkecuali untuk daerah parahyangan  di jawa barat. Di daerah ini rakyat parahyangan diwajibkan untuk menanam  kopi, khususnya di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong. Pajak yang mereka wajib membayar kepada pemerintah kolonial adalah dalam bentuk kopi yang mereka hasilkan, sedangkan mereka dibebaskan dari segala macam bentuk pajak lainnya, terkecuali yang mereka bayarkan secara tradisionil kepada para bupati. Dalm sistem tanam paksa, azas yang diterapkan di daerah parahyangan ini ingin diterapkan diseluruh pulau jawa. Khusunya diharapkan bahwa sistem tanam paksa ini dapat meningkatkan produksio tanaman dagangan diseluruh pulau jawa sampai tingkat yang dicapai di daerah parahyangan, yaitu yang rata-rata dapat menghasilkan F.5 per satu rumah tangga.
Dalam salah satu prasaran  yang telah ditulis Van den Bost sebelum dia dikirim ke indonesia terdapat suatu perkiraan bahwa produksi tanaman eksport dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih F.15  sampai F.20 juta setiap tahun. Jika sistem tanam paksa yang dipraktekkan  di parhyangan juga diintroduksi di daerah-daerah lainnya. Van den Bost yakin bahwa paksaan seperti yang dijalankan oleh VOC adalh cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman dagangan untuk pasaran eropa, karena ia menyaksikan bahwa perkebuan-perkebunan eropa yang memperkerjakan tenaga-tenaga kerja yang bebas dapat bersaing dengan perkebunan-perkebunan di pulau-pulau karibia, hindia barat, yang menggunakan tenaga-tenaga budak.  Di lain pihak Van den Bost berkeyakinan bahwa penghapusan sistem pajak tanah dan penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan menguntungkan para petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah  yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sebanyak sepertiga sampai separoh dari nilai hasil pertaniannya. Jiak kewajiban pembayaran pajak tanah ini diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman dagangan, misalnya 66 hari dalam setahun, maka kewajiban ini akan lebih ringan daripada kewajiban membayar pajak tanah.

B.    Tanam paksa dalam teori
Tanam paksa dalam Teori tertera dalam staatsblad (lembaran negara tahun 1834, no.22, jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau jawa, berbunyi sebagai berikut:
1.     Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk dimana mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasaran Eropa;
2.     Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
3.     Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan  tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
4.     Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan  dibebaskan dari pembayaran pajak tanh;
5.     Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang di sediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia-belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat;
6.     Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kekurangan kerajinan atau ketekunan pada pihak rakyat;
7.     Pendudk desa akan mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah pembajan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

C.    Pelaksanaan
Diatas kertas ketentuan-ketentuan diatas memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat, namun dalam praktek ternyata bahwa pelaksanaan sistem tanam paksa sering jauh sekali menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan. Inilah penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa. Jenis-jenis penyimpangan dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Praktik penyediann tanah untuk penanaman tanaman yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dilakukan dengan paksaan.
2.     Dibeberapa daerah penyediaan tanah dibebankan bukan secara individual melainkan kepada seluruh desa, sehingga berakibat timbulnya perluasan tanah komunal (milik bersama)
3.     Dalam teori, bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib hanay 1/5, namun dalam praktiknya, melebihi ketentuan tersebut.
5.     Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati sesuai dengan jumlah barang yang diserahkan.
6.     Dalam teori, pekerjaan perkebunan tanaman yang diwajibkan akan mendapat upah, namun dalam praktiknya banyak yang tidak diberi upah sama sekali
Lima dari tujuh ketentuan yang ditetapkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok, kecuali mungkin yang tertera dalam ketentuan-ketentuan no. 4 dan 7 tersebut diatas.

. D.  Dampak sosial ekonomi tanam paksa terhadap masyarakat jawa
            Dampak tanam paksa bagi masyarakat di pulau jawa sangat beragam. Bagi kalangan elite bangsawan, masa tanam paksa merupakan masa yang cukup menguntungkan. Kedudukan feudal mereka menjadi lebih aman karena menurut ketentuan jabatan mereka diwariskan turun temurun. Mereka memperoleh presentase keuntungan yang cukup besar dari penyerahan wajib tanam paksayang mereka kelola. Sebenarnya kaum elite bangsawan pada masa tanam paksa menjadi alat kekuasaan pemerintah kolonial belanda. Sehingga tidak heran, agar mendapat presentase keuntungan yang lebih besar mereka harus melakukan pemaksaan kepada para petani.
Sementara itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh sebagian besar petani. Penanaman tebu dan gula mengambil lahan petani, tenaga kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan penduduk setempat. Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah seperti priangan timur dan grobongan menunjukkan adanya dampak buruk dari kebijakan tanam paksa.

E.  keuntungan tanam paksa bagi Belanda
1.     Meningkatnya hasil tanaman eksport  dari negeri jajahan dan dijual belanda dipasaran Eropa.
2.     Perusahaan pelayaran belanda yang semuala hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
3.     Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, keuntungan tanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12-18 juta gulden.
4.     Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5.     Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
6.     Belanda tidak mengfalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang indonesia.
7.     Menjadikan amsterdam sebagai pusat perdagang hasil tanaman tropis.

Kebijakan tanam paksa terbukti memberikan keuntungan yang sangat besar bagi belanda. Selain dapat untuk menutup semua utang pemerintah kerajaan belanda dan pemerintah kolonial belanda, negeri belanda mendapatkan keuntungan bersih (batig slot), rat-rata pertahun mencapai 10 sampai 14 juta gulden. Dalam jangka waktu antara tahun 1831 -1877, negeri belanda mendapatkan batig slot sebesar 823 gulden (suharto,1994: 12-13).
Reaksi terhadap politik tanam paksa diwilayah hindia-belanda mulai muncul pada tahun 1848. Perdebatan-perdebatan berlangsung didalam parlementer negeri belanda. Golongan liberal mulai mendominasi parlement dan merekalah yang banyak menentang politik tanam paksa. Kemenangan kaum liberal pada tahun 1848 ditandai oleh disahkannya konstitusi belanda dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan negeri belanda dari monarkhi-konstitusional menjadi monarkhi-demokrasi parlementer. Berikutnya pada tahun 1854 disahkan regeering reglement (RR) yang berisi jaminan kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha (terutama dibidang ekonomi).  RR ini belakangan menjadi dasar dalam penerapan politik kolonial liberal.
Decade 1850-1870 di negeri belanda ditandai oleh pertumbuhan industri-industri dan perkembangan bank-bank. Kosentrasi dan sentralisasi modal beralih ke tangan kaum liberal. Kebijakan-kebiajakan merkantilisme dan proteksi mulai digugat oleh kaum liberal agar diganti dengan kebijakan non-intervensi. Pada tahun 1867 muncul UU yang disebut comptabiliteit wet. Isinya adalah anggaran belanja pemerintah kolonial belanda. Isu-isu mengenai batig sloth (keuntungan bersih) menjadi sasaran kritik-kritik pedas, baik dari golongan liberal maupun golongan humanis. Kedua golongan inilah yang paling gencar mengkritik politik tanam paksa dan penerapanya di indonesia (hindia-balanda). 




Daftar Pustaka :
Sartono, kartodirjo,dkk.1975. sejarah nasional indonesia IV. Jakarta : balai pustaka.




Perlawanan menghadapi kolonialisme

Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Barat

1.     Perang pattimura di saparua
Pemindahan kekuasaaan dari tangan inggris ke belanda membuat maluku tengah mulai khwawatir akan pengalihan kekuasaan tersebut, sehingga mengadakan perundingan-perundingan untuk membahasnya. Pada 14 mei 1817 di pulau saparua para pemuda dan petinggi-petinggi desa sepakat untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial do banten duurstade yang terletak di pulai saparua. Keputusan ini diteruskan kepada setiap negri di pulau itu. Dalam musyawarah di tempat itu dipilihlah thomas mattulessi sebagai pemimpin perang dengan julukan pattimura. Peperangan di saparua di menangkan oleh pattimura. Jatuhnya duurstede bagi belanda merupakan suatu pukulan besar. Tidak lama kemudian mereka menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan yang dipimpin oleh mayor beetjes itu tiba di saparua pada tanggal 20 mei 1817. Sejak armada kapal beetjes memasuki teluk saparua, kapitan pattimura sudah siap dengan strategi yang telah disusunya. Seluruh pasukan telah disusun rapi di sepanjang pantai. Strategi yang diterapkan pattimura berhasil menghancurkan pasukan beetjes pada 25 mei 1817. Setelah itu strategi selanjutnya dari pattimura yaitu melakukan penyerbuan ke arah benteng zeelandia di pulau haruku.
Peyerbuan pertama dilakukan pada tanggal 30 mei 1817, dimana serangan pasukan pattimura yang pertama berhasil digagalkan oleh pihak belanda. Serangan kedua dilancarkan setelah tiga hari kemudian, serangan yang dilakukan mendapat balasan dari pihak belanda yang menembakkan meriam ke arah pasukan pattimura sehingga pasukan menjadi berserakan. Setelah seminggu setelah penyerbuan ke benteng zeelandia ini, muncul beberapa pihak yang mencoba melakukan perundingan. Namun perundingan itu gagal. Dengan demikian peperangan dilancarkan kembali. Armada dan pasukan groot kini menuju ke duurstede yang memang sengaja dilepaskan oleh kapitan pattimura. Sekalipun  pasukan-pasukan groot berhasil menguasai benteng, namun diluar tembok-temboknya pasukan pattimura tetap berkuasa. Perlawanan yang tidak kunjung reda di saparua, haruku dan ambon dengan bantuan pasukan-pasukan alifuru dari seram itu berlangsung terus dari bulan agustus – november. Sekalipun persenjataan pattimura tidak lengkap karena kira-kira hanya dua puluh persen saja dari pasukanya memiliki bedil tua yang biasanya dipakai untuk berburu, sedangkan sebagian besar hanya memakai perang, tombak dan perisai. Kendati demikian walau hanya dengan persenjataan yang seadanya tetapi semua itu didukung oleh strategi sehingga penyerangan dapat dilakukan  secara efektif. Pada bulan november 1817, pasukan belanda mendapatkan bantuan 1500 orang dari kerajaan ternate dan tidore atas permintaan gubernur middelkoop, dan sebuah armada yang lebih kuat  dari jawa yang dipimpin langsung oleh laksamana muda A.A Buyskes yang lain menjabat panglima armada di hindia-belanda juga menjadi komisaris jenderal I di batavia. Dengan kekuatan yang besar, buyskes mengirim sebuah pasukan kecil yang terdiri dari orang-orang ternate dan tidore untuk memotong jalan melalui hutan dan pegunungan arah ke ambon. Pada desember 1817 pasukan pimpinan buyskes berhasil meredakan pertempuran dan menagkap kapitan pattimura bersama denagn tiga orang panglimanya, dan mereka dijatuhi hukuman mati yang dijalankan di benteng  niuew victoria di ambon.

2.     Perang Paderi /Minangkabau
Kedatangan islam dalam masyarakat minangkabau sedikit banyak membawa kegoyahan dikalangan kaum adat. Meskipun demikian adat tetap dipegang teguh oleh golongan masyarakat yang kepercayaannya islam masih tipis. Kedatangan ketiga haji yakni haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang pada tahun 1803, membawa perubahan baru pada masyarakat minangkabau. Ketiga haji tersebut telah menyaksikan kerasnya usaha kaum Wuhabi di mekkah untuk membersihkan agama islam dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran kur’an. Dalam pandangan mereka keadaan masyarakat minangkabau  waktu itu telah menyimpang jauh dari apa yang diajarkan agama. Oleh karena itu mereka bertekad untuk meluruskannya. Gerakan Para haji ini yang kemudian terkenal dengan sebutan gerakan padri, terutama bertujuan untuk memperbaiki masyarakat minagnkabau dan akan mengembalikannya pada keadaan yang sesuai dengan ajaran islam. Beberapa ulama yang sudah lama berpengaru dalam masyarakat menyambut ide kaum padri dengan baik. Ulama-ulama ini kemudian muncul sebagai pemimpin-pemimpin yang berperanan dalam gerakan padri. Ajaran kaum padri juga menarik perhatian sementara kepala-kepala negeri di daerah pantai. Timbulnya perlawana-perlawanan dari kalangan kaum adat membuat usaha ketiga haji ini perlu banyak pengorbanan dan kesabaran, seperti ketika haji miskin mencoba melarang penyabungan ayam yang dilakukan oleh penduduk di pandai sikai.
 Pertempuran antara kedua belah pihak mulai meletus dikota lawas. Perang ini kemudian menjalar ke daerah-daerah lain. Rakyat yang telah dipengaruhi kaum padri mulai mengangkat senjata untuk menggabungkan diri dalam perang. Di daerah alahan panjang kedudukan kaum padri telah terjadi di berbagai daerah, kaum padri dibawah pimpinan datuk Bandaro telah bertempur melawan kaum adat yang di pimpin oleh Datuk Sati. Datuk bandaro meninggal karena terkena racun pada saat mengadakan pertahanan bersama pengikut-pengikutnya di benteng bonjol. Kemudian digantikan oleh tuanku imam bonjol. Didaerah lain seperti di tanah datar terdapat juga pertempuran antara kaum padri yang dipimpin oleh tuanku pasaman dengan kaum adat. Pertentangan intern antara golongan dalam masyarakat minangkabau yang disebabkan karena perbedaan faham kepercayaan. Dan keyakinan ini mengalami perkembangan baru, setelah kekuasaan asing kemudian mengadakan intervensi.
Kedatangan letnan gubernur thomas raffles di padang pada pertengahan bulan juli 1818 tidak lain untuk mencoba menarik perhatian rakyat minangkabau, berhubung daerah tersebut seperti halnya daerah-daerah lainnya menurut konvensi london 1814 harus dikembalikan kepada belanda. Perlawatan raffles ke minangkabau juga mempunyai maksud untuk mengetahui dari dekat situasi terakhir di daerah tersebut. Pendekatan raffles pada kaum adat berhasiil, bahkan kaum adat menginginkan bantuannya dalam menghadapi kaum padri. Sebaliknya kaum padri menunjukkan sikap menolak bekerjasama dengan pihak inggris. Waktu belanda menerima penyerahan kembali daerah sumatra baratdari ingggris, maka perlawanan kaum padri akhirnya juga diarahkan pada kekuasaan belanda. Kaum padri mulai melakukan serangan serangan terhadap pos-pos belanda maupun pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Dalam pertempuran yang terjadi  antara pasukan tuanku pasaman dan pasukan belanda telah meminta banyak korban di kedua belah pihak.
Di daerah agam pada tanggal 24 september 1823 pasukan padri telah menyerang pasukan mayor laemlin yang berkekuatan 170 orang.  Namun pasukan belanda berhasil mendesak pasukan padri, bahkan akhirnya dapat merebut benteng pertahanan padri di daerah itu yang dijaga oleh 360 orang. Dengan kepergian letnan kolonel raaff kepadang pada 16 desember 1823 untuk menggantikan kedudukan Du Puy sebagai residen dan komandan militer belanda di padang. Terjadilah perkembangan baru, raaff merencanakan untuk mengadakan perundingan dengan pihak kaum padri. Usahanya untuk mendekati kaum padri di bonjol berhasil dan pada 22 januari 1824 dapat diadakan perundingan perdamaian dengan mereka. Setelah itu kaum padri di daerah VI kota juga mengadakan perdamaian dengan belanda. Tuanku damasiang, seorang pemimpin padri di kota lawas, menolak untuk berdamai dengan belanda, sehingga mendapat serangan dari pasukan belanda. Kota lawas dibakar dan tuanku damasiang terpaksa menyerah karena kepungan pasukan belanda tersebut. Meninggalnya letnan kolonel raaff karena sakit pada 19 april 1824 merupakan kesempatan baik bagi mereka untuk mengobarkan perang lagi.
Kelemahan pasukan belanda di berbagai daerah pertempuran membawa akibat makin meluasnya perlawanan kaum padri. Di samping itu terlihat bahwa sementara kaum adat yang kecewa mulai melakukan perlawanan juga terhadap belanda. Pada tanggal 10 agustus 1837 tuanku imam bonjol menyatakan bersedia untuk mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi belanda menganggap bahwa kesediaan tuanku imam bonjol tersebut hanya merupakan siasat untuk memperoleh waktu guna menggali lobang yang menghubungkan dalam dan luar benteng. Dalam pertempuran bulan oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan belandaterhadap benteng bonjol. Dan benteng bonjol yang dipertahankan oleh kaum padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan belanda. Penyerahan tuanku imam bonjol beserta pasukanya terjadi pada tanggal 25 oktober 1837 dan merupakan pukulan berat bagi perlawanan kaum padri pada umumnya. Dengan menyerahnya tuanku imam bonjol tidak berarti bahwa perlawanan kaum padri di daerah-daerah lainnya segera berakhir. Dalam bulan november 1837 tuanku tambusi masih mengadakan perlawanan di dekat angkola, demikian pula terjadinya pemberontakan di batipo dalam tahun 1841 menunjukkan bahwa sisa-sisa perlawanan terhadap belanda masih tetap berlangsung.
3.     Perang Diponegoro
Sejak daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja jawa makin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, kerajaan mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya,  dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian. Pada tahun 1823 gubernur jenderal van der capplen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa  dari kaum bangsawan dikembalikan lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan. Pada saat kekuasaan mataram melemah muncullah seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu pangeran diponegoro. Ia adalah putra sulung sultan hamengkubuwono III dari garwa ampeyan. Yang lahir pada 11 november 1785 dengan nama kecil raden mas ontowiryo. Sejak kecil ia didik oleh neneknya kanjeng ratu ageng ditegalrejo, terenal sebagai orang yang sangat saleh. Beliau selalu memperdalam soal agama. Sebagai orang yang sangat saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Sewaktu inggris masih berkuasa, sultan hamenku buwono III dan raffles pernah menjanjikan kepada diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah ayahnya wafat tahun 1814, yang menggantikan buakan diponegoro tetapi adikya yakni mas jarot dengan gelar sultan hamengku buwono IV, sedangkan diponegoro diangkat sebagai penasehatnya. Pengaruh terhadap diponegoro terhadap sultan HB IV besar sekali. Atas desakan pangeran diponegoro, sultan HB IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822 dianggap oleh diponegoro sebagai kutukan.
Pada tanggal 25 juli 1825 berkobarlah perlawanan diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, pangeran diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan belanda. Setelah pertempuran di tegalrejo, diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke gua selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarka diponegoro di ungsikan ke dekso.
Kabar mengenai meletusnya perlawanan diponegoro terhadap belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap belanda bergabung dengan diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan diponegoro dengan melakukan perlawana terhadap belanda. Alibasyah sentot prawirodirjodari madiun menjadi panglima perang diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah pacitan, purwodadi, banyumas, pekalongan, semarang, rembang, kertosono, dan madiun. Dalam pertempuran di daerah lekong (1826), belanda di pukul mundur, seorang letnan belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur. Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825-1826 kemenangan ada di pihak diponegoro, hal ini disebabkan. 1. Semangat perang pasukan diponegoro masih tinggi, 2 siasat gerilya yang dilakukandiponegoro belum tertandingi, 3 sebagian pasukan belanda masih berada di sumatra barat dalam rangka perang padri. Karena itu tawaran belanda untuk melakukan perdamaian selalu di tolak diponegoro. Lalu belanda melakukan berbagai siasat sebagai berikut : sultan HB II (sultan sepuh) yang dibuang raffles ke pulau pengang dikembaliakan ke yogyakarta dengan tujuan menandatangan kan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal karena sultan sepuh kurang berwibawah lagi bahkan tidak lama kemudian terus wafat sehingga para bangsawan tetapm melakukan perlawanan. 2. Jenral de kock berusaha memecahbelah pengikut diponegoro. Dan usahanya berhasil, sebab kyai mojo, pangeran kusumonegoro, sentot,dll meninggalkan diponegoro. Sehingga dia tinggal seorang diri. Kyai mojo diasingkan ke minahasa dan meninggal pada 20 desember 1849, sedangkan sentot dikirim kesumatra untuk memerangi kaum padri, namun akhirnya di tangkap dan dibuang ke bengkulu. Pada tahun 1829 pangeran mangkubumi dan alibasyah sentot prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan pada bulan oktober 1829. Sampai tahun 1829 pasukan diponegoroh telah banyak yang gugur. Oleh karena kondidinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukanya yang sudah sempit, maka diponegoro bersedian melakukan perundingan. Melalui kleerens pada 16 februari 1830 diponegoro mau lelakukan pertemuan di desa romo kamal. Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut : 1. Jika perundingan tidak disetujui oleh diponegoro, ia boleh kembali secara bebas, 2. Dalam perundingan diponegoro harus jauh darin tentaranya, dilakukan di kota magelang.  Lalu perundingan di tunda sampai selesaui bulan puasa . pada saat lebaran de kock mendesak diponegoro mengemukakan tuntutan-tuntutannya.saat itu, diponegoro menghendaki menjadi kepala agama islam di jawa agar dapat memelihara keharmonisan rakyat. Tuntutan itu ditolak oleh pemerintah belanda. De kock takut kalau diponegoro akan menyerang lantaran pengikutnya kina banyak yang masuk ke kota magelang. Sementara pemerintah negeri belanda mendesak de kock agar segera menghentiakan perlawana dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan culturselsel. Disamping itu, de kock juga terancam di pecat jika diponegoro sampai lepas kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut,  diponegoro  ditangkap ditempat perundingan , kemudian dibawah kemanado dan pada 1834 dipindahkan ke makasar dan disana beliau wafat pada 8 januari 1855 dalam usia lebih kurang 70 tahun. Belanda yang merasa telah membantu pemerintahan kesultanan dan kesunanan mengajukan tuntutan penguasaan daerah mancanegara yang masih dimiliki oleh kedua kerajaan itu. Sunan pakubuwono VI yang menyingkir dari istana ke pantai selatan karena suatu sengketa, ditangkap dan diasingkan ke ambon.





                     Daftar pustaka
Sartono, kartodirjo,dkk.1975. sejarah nasional indonesia IV. Jakarta : balai pustaka.





[